Sumber Cerpen: indokku.com
Cerpen Karangan: Suriana
Kategori: Cerpen Cinta
Hembusan angin sepoi-sepoi itu membuat suasana sore semakin sejuk. Sawah yang terhampar luas membentang. Matahari menyepuh belahan langit dengan cahaya merah yang sangat menawan, menyelipkan senyum sebelum kembali ke peraduannya, dan seakan berjanji esok akan kembali bila Tuhan masih menghendaki. Ketika malam telah larut, kurebahkankan tubuhku di tempat tidur. Dan terlarutlah dalam mimpi indahku.
Kubuka hari yang baru di pagi ini sebarkan semangat untuk maju kedepan dan menjadi pribadi yang baru. Kutebarkan senyuman saat perjalanan menuju tempatku menuntut ilmu dimasa putih abu-abuku. Sesampainya di sekolah, aku bertemu dengan sosok yang telah membuatku semangat untuk bangkit hari ini. Kelas Blaise Pascal yang menjadi ruang untukku belajar di kelas XI ini. Di depan tempat itulah terjadinya pertemuan singkat sang Putri dan Pangeran masa kini. Pangeran itu bernama Muhammad Divran Purnomo yang biasa aku panggil Divran. Sosok pria yang sangat di kagumi banyak kaum Hawa termasuk aku. Rasa kagum itu seakan muncul tiba-tiba di dalam benakku. Awalnya memang kagum. Motivasi-motivasi yang telah dia berikan, membuatku tertarik padanya. Kami dulunya akrab, tapi keakraban yang kami dulu jalani tak seindah sekarang. Entah kenapa, aku tak mengerti apa yang telah terjadi. Detik demi detik kujalani sambil melihat dia dari kejauhan membuatku tak henti-henti memikirkannya. Ini suatu pertanda yang sangat menakjubkan. Selalu memikirkannya, membayangkannya dan hati selalu gundah bila tak bertemu dengannya. Apakah ini yang dinamakan cinta sesungguhnya? Aku tak mengerti dengan semua ini. Tuhan yang membuat cinta itu ada sehingga aku tak bisa menghindarinya.
Di sekolahan ini, aku punya 2 sahabat yang selalu men-support, mendukung setiap apapun yang aku jalani dan selalu ada setiapku membutuhkan teman untuk curhat. Disaat kami berjalan bertiga, kami punya posisi untuk berjalan. Aku sebelah kiri, Sherly sebelah kanan, dan sahabatku yang satu lagi Ica di tengah. Kami bertiga sudah seperti gula-gula karet yang nempel di dinding! Susah di pisahkan. Itulah sahabatku.
Kring… Kring… Bel berbunyi tandanya siswa masuk di kelas untuk melaksanakan pembelajaran. Matematika. Mata pelajaran yang selalu membuat diriku sakit kepala, ngantuk lalu tertidur pulas. Tapi, hal itu tak membuat Sherly sebagai teman sebangku membiaranku tertidur.
“Dinda jangan tidur. Ingat kan, Kamu harus rajin belajar” biasanya sembari memukul pundakku.
Aku pun bangun sejenak dan melihat situasi. Kalau gurunya killer tidur tak akan kulanjutkan, tapi kalau nggak killer tidur sepulas-pulasnya ku lakukan.
Waktunya istirahat. Tak lain yang kulakukan adalah berkumpul bersama kedua sahabatku itu. Aku dan Sherly beranjak ke kelas Archimedes tempat Ica berada.
“Hai Ica. Lo lagi ngapain?” kataku sambil memegang pundaknya.
Ica pun melerai tanganku dan Sherly, seperti ada hal penting yang ingin ia katakan kepadaku.
“Lo jangan sedih yah. Dinda gue tadi ngeliat Divran berduaan sama cewek” dengan suara yang hampir tidak kedengaran ditelingaku dan Sherly.
“Hah, Lo beneran Ca? Yang sabar yah Din!” Sherly yang kembali menepuk pundakku. Aku hanya terdiam dan tak permasalahkan itu. Karena aku sadar, untuk apa aku marah. Aku bukan siapa-siapa Divran.
Setelah pertemuan para remaja usai, aku dan Sherly kembali ke kelas. Namun, saat perjalanan menuju kelas, aku bertemu dengan Divran lagi. Aku melihatnya dan tersenyum padanya. Tapi, dia menghiraukanku dan tak pernah menganggap diriku ada di dekatnya. Padahal aku ingin dia merasakan apa yang juga aku rasakan. Mungkin mustahil bagiku untuk itu terjadi. Ketika mata tak lagi melihatnya, aku pun berlari dengan tergesa-gesa menuju kelasku.
Kembali belajar. Di dalam fikirkanku bukan pelajaran, tapi hanya kejadian-kejadian yang telah kualami hari ini. Kata anak remaja saat ini aku sedang terlibat dengan yang namanya GALAU. Fikiran kacau tak menentu. Kalau fikiran tak menentu, kepala kuletakkan diatas meja dan mata tertutup hingga pelajar usai.
Kring… Kring… Bel berbunyi, saatnya bersorak-sorak “HOREEEE.” Siswa-siswi di perbolehkan untuk mengakhiri pelajaran pada hari ini.
“Sherly mau pulang?” pertanyaan yang selalu kuberikankepada sherly.
“Iya nih. Mau ngerjain tugas dulu” ucapnya.
Aku pun juga ingin kembali ke istana kecilku karena teman-teman sudah pulang semua dan fikiran juga yang sedang kacau bagaikan angin topan yang arahnya tak menentu.
“Assalamualaikum… Ibu aku pulang” teriakanku seakan menggetarkan isi rumah.
“Waalaikumsalam” balasnya dari seorang wanita yang tak lain adalah ibuku.
Ibu ini orang kedua selain ayahku yang paling tegas mengingatkanku tidak boleh pacaran sebelum bekerja. Tapi hati tidak boleh bohong. Kalau seseorang yang kucintai menyatakan perasaannya, yah pasti aku terima karena itu bukan keinginanku melainkan hati yang menjawabnya. Setelah masuk kedalam ruangan yang berantakan, baju dimana-mana, ku rebahkan tubuh sejenak sebelum membersihkan ruangan yang sangat bersih ini.
TRENG… TRENG terdengar suara handphone dari atas mejaku. Bunyi itu seakan tak pernah membuat mataku tertutup. Ngarep sms dari Divran. Setelah pesan itu kubuka, dan ternyata… OMG HELLO! Ternyata si Telkomsel yang nge-smsin aku. Terdiam seribu kata, galau lagi di PHP-in sama handphone . Aku pun kembali tertidur dan melepas kegalauan-kegalauan yang telah melanda diriku.
“Loh, kenapa gue berada di antara para prajurit-prajurit ini? Mungkin lagi ada pesta karena gue sedang mengenakan gaun yang sangat indah menawan” ucapku dalam hati yang sangat heran dan tak tahu apa yang sedang terjadi.
Menuruni kereta kencana dan menuju ke suatu istana yang sangat megah. Saat berjalan menuju ke tempat tersebut, terlihat sosok pria sedang mengenakan jas hitam berdasi yang sangat gagah dan rapi menjemputku dan memegang tanganku. Ternyata dia adalah Divran. Dia seorang pangeran di istana ini. Dan aku sebagai putri yang akan dinikahkan oleh sang pangeran. Kami berdua pun memasuki sebuah istana yang akan menjadi saksi bisu kebahagiaan kami. Pemasangan cincin, aku memasukkan cincin secara perlahan dan berhati-hati ke jari manis Divran agar semuanya pas. Kemudian giliran Divran memasukkan cincin itu. Tapi, hal yang sangat memalukan terjadi saat-saat cincin memasuki jari manisku, seluruh tamu melemparkan kami berdua makanan yang dihidangkan. GUBRAKKKK.
“Dindaaaaaa! Kamu itu apa-apaan sih, dari tadi Ibu mengetuk pintu kamar kamu. Ternyata belum bangun. Sudah setengah 7!” ibu serasa melepas kemarahannya terhadapku.
“aduh OMG HELLO, ternyata gue dan Divran di istana itu hanya mimpi belaka. Mimpi yang begitu indah tak akan terwujud ” termenung mengkhayalkan kejadian mimpi semalam.
Melirik ke wajah ibu yang dari tadi marah-marah, membuatku lari secepat kilat ke kamar mandi dan mempersiapkan diri untuk ke sekolah. Sarapan telah selesai, dan waktunya berangkat ke tempat sumber ilmu berada.
Jarak rumah ke sekolah tak sejauh monas ke pasar Tanah Abang melainkan hanya berkisar 1 kiloan. Meninggalkan rasa kegengsian, cukup berjalan kaki selama 20 menit untuk menempuh perjalanan ke sekolah. Lima langkah dari rumah, kupandangi alam sekitarku sambil berjalan. Sepertinya ada yang aneh dalam perasaanku. Tiba-tiba saja ada Divran di pikiranku. Kenapa lagi sih. Tak lama kemudian, terdengar suara motor yang tak asing di telingaku. Motor Jupiter MX berplatkan DD 2109 XX melewatiku sekejap saja. Firasatku benar. Itu adalah motor sang pujaan hati. Dia tak singgah mengajakku untuk barengan ke sekolah. Eh tapi, emang penting dan wajib buat dia mengajakku barengan ke sekolah. Aku kan bukan siapa-siapanya dia.
Memikirkan Divran terus membuatku tak terasa sampai di tempatku menimba ilmu. Aku hanya berjalan menyongsongi di setiap jalanan ke depan. Secara kebetulan, aku pun bertemu dengan Ica teman seperjuangan cinta. Akhirnya kami pun berjalan berdua menuju kelas Ica di Archimedes sambil berpegangan tangan dan bercerita sekedar basa-basi. Setelah mengantarkan Ica di kelasnya, aku pun beranjak melangkahkan kaki ke kelas Blaise Pascal. Perjalanan menuju kelas, suatu kejadian yang sangat spektakuler di banding acara Indonesian Idol membuat tubuhku tak henti-hentinya bergetar bagaikan getaran gempa yang sangat dahsyat. Saat itu, aku berjalan dengan cepat. Divran yang berlarian keluar dari kelas membuatnya tak melihatku sehingga kami pun bertabrakan. Buku yang tadinya ku peluk, berserakan di lantai. Dengan tulus dan tanggung jawabnya yang telah menabrakku tadi, Divran membantuku mengambil seluruh buku-buku yang berserakan. Hal paling bodoh kulakukan di saat itu adalah membiarkan diri salah tingkah dan tubuh seperti disihir menjadi patung. Aku takut kalau Divran bisa curiga kalau aku mempunyai rasa terhadapnya. Dengan kekuatan yang aku miliki membuat kelakuanku itu menjadi tak tertampakkan. Setelah mengambil buku-buku di lantai dia memberikanya kepadaku sembari meminta maaf atas kejadian itu. Entah apa yang harus kukatakan. Aku takut berbicara, nantinya salah ngomong. Akhirnya aku hanya tersenyum kepadanya dan melanjutkan perjalananku ke kelas sembari menebarkan senyuman kepada semua seisi langit dan bumi yang telah menjadi saksi atas kejadian hari ini.
Sesampainya di kelas, aku langsung duduk di samping Sherly yang dari awal menatapku dengan penuh keheranan karena senyam-senyum yang tak kunjung kuhentikan.
“Eh, Din, Lo senyam-senyum terus dari tadi. kesambet setan?” menaikkan satu alisnya.
“Gue…” pembicaraan tak kulanjutkan.
Bu guru sudah masuk. Berita kesenanganku itu tak jadi kusampaikan kepada Sherly. Mungkin, di waktu istirahat semua akan kusampaikan kepadanya agar aku bisa berbicara panjang lebar soal kejadian itu. Segitu bersejarahnya hari ini. Kembali lagi pada pelajaran. Orang-orang sudah bosan mendengarkan kata belajar, belajar dan belajar, begitupula dengan diriku. Meskipun bosan, aku tetap mengikut pelajaran-pelajaran setiap harinya tapi dengan mata tertutup. Menahan kantuk itu susah dibanding menahan lemari di atas kepala. Jadi tak salah kalau nilai-nilaiku itu merah, bukan karena bodoh tetapi keseringan tidur. Seperti biasa, tak bisa menahannya jadilah aku tertidur pulas hingga waktu istirahat. Aku melanjutkan percakapan yang putus tadi bersama Sherly.
“Sher, lo mau tau apa yang gue alami tadi pagi?” mencoba menarik Sherly ke dalam percakapan yang terputus tadi.
“Oh iya, hampir lupa. Emang lo tadi kenapa sih? Kegirangan banget” akhirnya timbul kekepoan dalam dirinya.
“Tadi itu, aku serasa berada di atas awan melayang-layang penuh dengan rasa cinta. Tahu nggak sih lo, semuanya serasa mimpi. Gue bertabrakan sama Divran. Sumpah, kejadiannya itu seperti yang ada di Film Ganteng-ganteng Serigala adegan Sisi dan Digo bertabrakan. Aduh, romantis kan?” bercerita sealay-alaynya di hadapan Sherly.
“Alay banget sih lo. Gue kirain lo di tembak sama Divran. Bertabrakan doang, senang banget. Apalagi lo di tembak sama dia. Aduh, nggak bisa dibayangkan” ucapnya menanggapi cerita panjang lebarku tadi.
Tak lama bercakap-cakap dengan Sherly, suara nyaring memecah gendang telinga berbunyi. Itu tandanya para siswa-siswi harus kembali ke kelas masing-masing. Kembali lagi belajar. Kuusahakan tak akan tertidur. Percayalah. Menikmati pembelajaran, kumencoba tak melakukan hal itu lagi. Ini memang merupakan ujian hidup yang tak bisa kulewati walaupun dengan berbagai cara. Kenapa ujian ini harus menahan kantuk oh Tuhan. Bukan ujianya yang gagal, tapi karena aku belum siap untuk menghadapi ujian menahan kantuk itu. Akhirnya tertidur lagi serta pulasnya minta ampun.
Waktunya pulang, aku segera membereskan buku untuk dimasukkan kedalam ranselku. Mengajak Sherly untuk pulang karena kebetulan rumah kami berdekatan dan dia juga berjalan kaki sama sepertiku. Akhirnya kami pulang bersama. Berjalan bersama Sherly tak membuat suasana menjadi hening. Sembari berjalan, Sherly membuka pembicaraan diantara kami.
“Dinda, ada rencana apa buat besok?” bertanya kepadaku.
“Nggak ada rencana-rencana apapun. Emang besok ada apaan?” benar tak tahu apa-apa.
“Lo benar nggak tahu? Masa lo lupa sih. Besok itu tanggal 18” mencoba mengingatkanku.
“18… OMG HELLO! Ulang tahunnya Divran. Apa yang harus gue lakuin? Belum ada persiapan apa-apa” sudah mengingat semuanya.
Sherly hanya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah lakuku yang tengah kebingunan akibat ulang tahun Divran. Aku sudah tak mengingat semuanya selain ulang tahun Divran. Tanpa kusadari aku langsung masuk ke rumah meninggalkan Sherly tanpa berpamitan. Mungkin dia sudah berpikir, kalau soal Divran, aku tak lagi memikirkannya. Maafkan aku yah Sherly, aku tak bermaksud.
Masuk rumah, tanpa salam, aku memasuki ruangan yang berantakan. Maksudnya, kamarku. Pintu kunci rapat-rapat, mengganti pakaian, lalu duduk dengan tenang dan mulai berpikir sedikit demi sedikit soal surprise untuk Divran esok. Untung saja 1 bulan sebelum ulang tahun Divran, aku sudah menabung. Jadi tak memikirkan biaya lagi. Sebenarnya aku ingin memberi Divran sebuah kue ulang tahun yang berbentuk lambang Manchester United sesuai dengan klub yang aku senangi. Tapi, teringat bahwa Divran bukan tipe cowok yang suka diberi kue-kue seperti itu. Jadi rencana itu tak akan kulanjutkan. Hingga akhirnya, tak ada pilihan lagi. Aku harus ke rumah Sherly untuk meminta solusinya soal ulang tahun pria kedua kebanggaanku setelah ayah.
“Assalamualaikum” sambil mengetuk pintu rumah Sherly.
“Walaikumsalam” terdengar suara Sherly sambil membuka pintunya.
“Eh Sherly. Gue minta maaf yah karena meninggalkanmu tanpa berpamitan” mengulurkan tanganku kedepannya.
“Wah, nggak apa-apa kok. Santai aja. Emangnya ada apa nih? Tumben ke rumah nggak bilang-bilang dulu” mengulurkan tangannya juga.
“Gue pusing nih. Entah mau ngapain besok. Kan nggak lucu kalau gue nggak ngasih apa-apa untuk Divran. Menurut lo, apa yah hadiah yang bagus dan cocok untuknya?” meminta solusi Sherly.
“Kalau menurut gue, yang cocok buat cowok itu jaket, jam, sepatu, atau baju. Terserah mau pilih yang mana” memberi solusinya.
Setelah berpikir-pikir, aku pun memilih untuk memberikannya jam tangan karena selama SMA, aku nggak pernah melihatnya memakai jam tangan. Aku mengajak Sherly untuk menemaniku mencari jam tangan ke toko. Toko demi toko ku telusuri, tak ada satupun membuat mataku dan Sherly tertarik. Beranjak ke toko yang terakhir, terlihat sebuah jam tangan merah hitam membuatku tak pernah mengalihkan pandangan. Aku pun melerai jam tersebut dan meminta pendapat dari Sherly sebagai komentatorku hari ini. Sherly ternyata menyukai jam tangan itu juga. Akhirnya barang yang telah aku pilih itu masuk kedalam kantongan. Kami pun kembali ke rumah masing-masing setelah membeli hadiahnya. Aku lega karena hadiah sudah ada di tangan. Tapi, ada lagi keganjalan yang aku pikirkan. Bagaimana caranya mengucapkan selamat ulang tahun buat Divran? Aku tak tahu. Apa harus dengan cara kuno. Surat! Tak ada cara lain. Kumencoba menggoreskan kata-kata di atas kertas putih dengan tinta ungu “Happy birthday Muhammad Divran Purnomo. Semoga sukses selalu, menjadi yang terbaik dan selalu berbuat yang terbaik. Oh iya, ini jam buat kamu. Aku ngasihnya tulus dan tak mengharapkan sesuatu. Semoga barang ini bisa bermanfaat buat kamu, terutama untuk mengingat waktu kamu sholat. Maaf yah, hanya ini yang bisa aku berikan. Ingat, jangan pernah membuat orang yang kamu sayang pergi meninggalkanmu karena kelakuanmu itu sendiri. Penyesalan tak akan pernah kamu elakkan. MRS.X!” meyakinkan surat itu akan kuberikan. Berpikiran bulat, kubungkus hadiah itu bersama surat yang telah kurangkai dari hatiku yang paling dalam. Setelah semuanya selesai, kurebahkan diriku di atas tempat tidur yang dari tadi sudah menungguku dengan rapi dan terlelaplah diriku dalam mimpi indah yang membuatku tak ingin bangun dari tidurku.
Selamat pagi duniaku. Apapun yang terjadi hari ini kukan selalu serahkan kepada Tuhan. Problema-problema terus menerjang bagai keras ombak yang menabrak karang namun kutahu, kumampu untuk tenang menghadapi semua resiko yang telah kulakukan. Kuiringi langkahku, sampai akhir jalan ke sekolah. Sungguh berat terasa mejalani semua. Tapi, harus optimis dan tetap semangat apapun hasilnya nanti. Memasuki kelas, kebetulan ada Ica dan Sherly yang tengah berbicara. Aku pun menghampiri keduanya.
“Sher, Ica. Hadiahnya sudah ada nih. Tapi, cara ngasihnya bagaimana?” berbisik kepada kedua wanita ini.
“kalau menurut gue, serahkan saja pada kami berdua. Biar kami yang akan berikan kepada Divran dengan cara kami. Lo tenang aja yah” meyakinkannya kepadaku.
Kuserahkan semuanya pada Sherly dan Ica. Rasa hawatir menyelimuti perasaanku. Aku takut kalau Divran bisa tahu apa yang tengah kulakukan. Sumpah, norak banget. Aku saja merinding mengingat yang telah kulakukan. Aku ini bodoh atau nggak tahu bagaimana caranya agar tindakan yang kuambil nggak beresiko malu nantinya. Tapi, yah sudahlah. Tuhan yang mengaturnya. Duduk terlamun, Ica dan Sherly menghampiriku dan melapor bahwa tugas yang aku berikan telah di kerjakan. Aku hanya bisa pasrah. Dan menunggu waktu yang menjawabnya. Semoga datang keajaiban, Divran tak akan pernah tahu siapa yang telah menjadi MRS.X itu.
Tiba keesokan harinya, entah kenapa aku merasakan hal yang aneh lagi. Ku berjalan mengelilingi kelas-kelas bersama Sherly dan bertemu salah seorang teman Divran yang bernama Wildan langsung memanggilku.
“Dinda. Lo kan yang ngasih Divran jam? Karena setahu gue, hanya lo fans berat Divran” tak ada angin tak ada hujan, dia membahas soal jam.
“Hah? Jam apaan. Gue nggak pernah ngasih Divran jam tangan” sungguh munafik diriku.
Wildan hanya terdiam. Aku pergi meningglkannya. Karena aku tak ingin menimbulkan rasa kecurigaan terhadapnya. Sebenarnya, aku ingin sekali jujur kalau hadiah itu memang dari aku. Tapi, aku tak ingin mengambil keputusan yang akhirnya membuatku menyesal nantinya. Tanpa kusadari, Wildan mengikutiku dan tetap memanggilku.
“Dinda. Ada yang pengen gue beri tahukan kepada kamu soal Divran” berada di belakangku.
“Ada apa sih? Divran kenapa lagi?” menoleh ke belakang dengan wajah kesal.
“Kalau lo mau sama Divran, ubah sikap lo. Jangan teledor dan rajin-rajinlah belajar” setelah berbicara seperti itu ia lalu pergi meninggalkanku.
Selalu terpikirkan perkataan Wildan tadi. Tapi, aku berjanji. Suatu saat aku akan berubah tapi bukan karena Divran, melainkan karena Tuhan semata. Mungkin Divran perantara Tuhan untuk mengubahku. Terlepas dari semua itu, kuingat lagi soal hadiah itu. Saat beranjak ke kantin, aku melihat sebuah jam tangan yang terpasang di pergelangan tangan kiri Wildan. Sepertinya, jam itu mirip dengan jam yang aku kasih Divran. Timbul rasa penasaran dengan jam yang di kenakan oleh Wildan. Akhirnya aku tak membiarkan rasa penasaran itu berkelanjutan. Hingga akhirnya aku mendatangi Wildan.
“Wildan, lo dapet dari mana tuh jam?” tanyaku mulai timbul rasa curiga terhadap Wildan.
“Ini punya Divran. Dia memberikannya kepadaku. Emangnya kenapa?” kembali bertanya kepadaku.
“Sebenarnya yang ngasih Divran jam itu gue. Tolong kalau lo memang kasihan sama gue, lo suruh Divran ambil kembali hadiah dariku” meneteskan air mata tanda kecewa dan nggak sanggup untuk berkata yang sebenarnya.
Wildan hanya menertawaiku entah karena aku menangis, atau hadiah yang telah kuberikan kepada Divran. Tapi setelah itu, aku lega karena Wildan mengembalikan jam tangan kepunyaan Divran. Dan Divran pun mengambilnya kembali walaupun dia tidak memakainya, setidaknya dia bisa menyimpannya dan menjaga barang itu. Karena penuh perjuangan untuk bisa mendapatkan dan memberikan hadiah itu. Semua ini hanya tinggal kenangan yang tak akan kulupakan hingga ku berada di bawah tanah sendirian dan suatu saat aku akan menceritakan semua ini ke anak cucuku nanti.
Hari-hari kulewati hingga sedikit lagi akan meninggalkan pakaian putih abu-abu, hanya sendiri. Tanpa tanbatan hati. Terngiang dipikiranku soal perubahan yang harus aku lakukan demi Divran karena Tuhan. Kumencoba menjalani hari-hariku dulu sampai saat ini dengan penuh kesabaran. Tak ada lagi penampilan seorang Dinda yang dulu tak tercerminkan sebagai wanita muslim, sekarang sudah berubah. Aku yang dulu bukanlah yang sekarang. Dulu kucupu sekarang lebih cupu. Ini semua demi menggapai cinta yang sudah 3 tahun terpendamkan. Dulu itu nggak ada hari selain belajar sambil tertidur. Tetapi, sekarang mungkin keinginan untuk berubah yang terlalu tinggi membuatku belajar sungguh-sungguh dan menjadi cewek si kutu buku. Tentu saja, membuat semua orang senang akan perubahan yang kulakukan. Tapi, sesuatu perih yang kudapatkan. Ternyata perkataan Wildan sejak kelas 2 itu bahwa aku harus berubah agar Divran suka sama aku, tak benar adanya. Divran begitu-begitu saja terhadapku. Tak ada perubahan untuk perasaannya. Mungkin, aku yang terlalu berharap dengan dia. Padahal tak ada sedikitpun jalan yang lurus untuk menuju ke dalam hatinya. Kubuang jauh-jauh perasaan yang kupendam itu. Agar tak ada kesedihan yang terlalu berkepanjangan.
Sejak beberapa lama, meninggalkan masa putih abu-abu, perubahan belajarku dulu membuahkan hasil. Aku mendapatkan beasiswa ke luar negeri untuk melanjutkan pendidikanku sembari menghapus kenangan-kenangan yang telah kualami bersama sosok pria berkulit hitam manis itu. Selamat tinggal Indonesia, Selamat tinggal ayah dan ibu, selamat tinggal teman-teman dan selamat tinggal juga buat kamu Divran. Tunggu aku kembali dengan perubahan-perubahan yang lebih menggemparkan seisi dunia ini. Makasih karena kehadirannya membuatku sangat berguna. Tak bisa kubayangkan hidupku disana nanti bila tak ada dia. Divran itu tak ada duanya. Hanya dia yang bisa membuatku mengerti arti dari makna kehidupan yang sebenarnya. Kalau jodoh, pasti kita akan diikatkan dengan janji suci yang di dasarkan oleh cinta. berjalan memasuki bandara dengan tersenyum meneteskan air mata dan meninggalkan semuanya.


No comments:
Post a Comment